Mangrove ke Ahong, Kades Jual Kubu Tuai Kecaman

Rajawaliborneo.com.           Kubu Raya, Kalimantan Barat – Sebuah skandal besar mengguncang Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya. Penjualan ilegal kawasan hutan mangrove seluas 400 hektare diduga kuat melibatkan oknum Kepala Desa Kubu. Nilai transaksi mencapai Rp.1,2 miliar dengan harga jual sekitar Rp6 juta per hektare-jauh di bawah harga pasar dan tanpa proses legal yang sah. Jum’at, (18/04/2025).

DOK. Kades Kubu Diduga Salahgunakan Wewenang Jual Aset Desa.

Lahan yang dijual merupakan kawasan lindung dan tercatat sebagai aset desa., Transaksi dilakukan secara tertutup menggunakan nama samaran “Bujang Nasir” alias “Muhamad Nasir”, yang dalam proses mediasi di Kantor Camat Kubu terungkap hanyalah sebagai perantara. Pembeli sebenarnya diketahui adalah seorang pengusaha berinisial Ahong.

BACA JUGA: 400 Hektare Hutan Bakau Diperjualbelikan Rp1,2 Miliar, Kades Terlibat?.

Suasana mediasi yang semula berjalan kondusif berubah memanas setelah identitas pembeli asli terbongkar. Kecurigaan masyarakat pun meningkat, menyusul terungkapnya pola transaksi yang ditengarai sarat manipulasi dan pelanggaran hukum. Lahan yang seharusnya dijaga untuk kepentingan publik dan keberlanjutan lingkungan, justru dijadikan komoditas untuk keuntungan pribadi.

Dalam pertemuan tersebut, Nasir menyatakan bahwa dirinya hanya menjalankan instruksi dari Ahong. Ia mengaku tidak memiliki kepentingan atas lahan tersebut dan bahkan telah memperingatkan kepala desa mengenai potensi pelanggaran hukum.

BACA JUGA: Berkas Kasus Korupsi Desa Sungai Belidak Diserahkan ke Polres Kubu Raya.

“Saya sudah bilang ke Pak Kades, lahan ini bisa bermasalah karena ini kawasan mangrove. Tapi dia tetap lanjut,” ujar Nasir di hadapan forum mediasi, dengan nada penyesalan.

Pernyataan tersebut memperkuat dugaan bahwa Kepala Desa Kubu telah mengetahui risiko hukum dari transaksi ini, namun tetap melanjutkannya. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap Undang-Undang yang berlaku.

Penjualan kawasan lindung secara terselubung dengan memanfaatkan nama samaran dan memanipulasi harga, mengindikasikan adanya praktik korupsi sistematis. Tidak adanya transparansi dan dokumen resmi dari pemerintah desa semakin memperkuat dugaan tersebut.

BACA JUGA: Dugaan Mafia Pertanahan Libatkan BPN Kubu Raya.

Kritik keras datang dari berbagai elemen masyarakat. Praktik semacam ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap aparatur desa, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi negara, masyarakat, dan ekosistem pesisir.

Mangrove bukan sekadar hutan pinggir pantai. Ia adalah benteng alami dari abrasi, rumah bagi keanekaragaman hayati, serta pelindung pesisir dari bencana. Perusakan terhadap kawasan ini berarti menjerumuskan masyarakat ke dalam krisis ekologis.

Penjualan ini diduga melanggar sejumlah regulasi penting, antara lain: Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Jika terbukti bersalah, para pelaku dapat dijerat dengan hukuman pidana penjara dan denda sesuai ketentuan perundang-undangan.

Gelombang penolakan muncul dari warga Desa Kubu, tokoh adat, pemuda, dan pegiat lingkungan. Mereka menuntut penegakan hukum yang tegas dan mendesak aparat kepolisian, kejaksaan, serta dinas kehutanan dan lingkungan hidup untuk bertindak cepat dan profesional.

“Ini bukan sekadar jual beli tanah. Ini adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat dan ancaman nyata bagi masa depan lingkungan hidup kita,” tegas seorang tokoh masyarakat dalam aksi protes spontan usai mediasi.

Publik berharap skandal ini menjadi momentum pembenahan tata kelola desa, memperketat pengawasan aset publik, dan memastikan kawasan lindung tidak lagi menjadi komoditas untuk kepentingan segelintir orang.

Skandal penjualan mangrove di Desa Kubu mencerminkan lemahnya pengawasan serta potensi penyimpangan dalam pengelolaan wilayah desa. Negara tidak boleh diam. Hukum harus ditegakkan, lingkungan harus dipulihkan, dan para pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pewarta: REDAKSI.

 

400 Hektare Hutan Bakau Diperjualbelikan Rp1,2 Miliar, Kades Terlibat?

Rajawaliborneo.com.     Kubu Raya, Kalimantan Barat – Sabtu, 12 April 2025 Dugaan praktik jual beli lahan yang disinyalir merupakan kawasan hutan mangrove atau hutan bakau seluas 400 hektare mencuat di Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Transaksi ini menyeret nama seorang oknum Kepala Desa Kubu yang dituding telah menjual lahan tersebut kepada seorang warga berinisial BN, yang diduga untuk kepentingan pengembangan perkebunan kelapa sawit.

DOK. Oknum Kades Diduga Jual Hutan Bakau 400 Hektare.

Berdasarkan informasi yang dihimpun media, indikasi terungkapnya transaksi ini bermula dari keberadaan alat berat jenis excavator yang memasuki area hutan mangrove. Lahan tersebut diketahui telah diklaim sebagai milik pribadi hasil transaksi jual beli, dengan harga yang diduga disepakati sebesar Rp.6 juta per hektare. Bila dikalikan dengan total luas 400 hektare, nilai transaksi ditaksir mencapai Rp.1,2 miliar.

BACA JUGA: Berkas Kasus Korupsi Desa Sungai Belidak Diserahkan ke Polres Kubu Raya.

Dugaan ini semakin menguat setelah beredar foto dan video yang memperlihatkan oknum Kepala Desa Kubu tengah menerima uang dalam jumlah besar dari pihak pembeli, serta menandatangani dokumen yang disebut-sebut sebagai bukti pelunasan jual beli lahan. Materi visual tersebut kini tersebar luas di tengah masyarakat dan menjadi sorotan warga setempat.

Kepada Awak Media, seorang warga Desa Kubu yang ditemui di salah satu warung kopi di Pontianak mengaku mengetahui adanya dugaan jual beli tersebut. Ia menyatakan bahwa kawasan yang diperjualbelikan merupakan hutan bakau yang selama ini memiliki fungsi vital sebagai penahan abrasi, pembatas air asin dan air tawar, serta menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lokal untuk menangkap ikan dan kepiting.

BACA JUGA: Tokoh Sungai Belidak Desak Kejelasan Dugaan Korupsi Dana Desa.

“Kalau ini benar terjadi, sangat disayangkan. Hutan bakau itu bukan hanya penting secara ekologi, tapi juga sumber hidup warga. Apalagi, saya tahu pernah ada warga yang ditegur bahkan alat kerjanya disita polisi hanya karena menebang sedikit untuk bikin pondok. Tapi yang ini malah bawa ekskavator, dan belum ada tindakan apa-apa,” ungkapnya.

Warga juga menyoroti ketimpangan dalam perlakuan hukum terkait kasus ini. Ia membandingkan antara perlakuan terhadap warga biasa yang hanya menebang beberapa batang pohon bakau, dengan proyek pembukaan lahan besar-besaran yang melibatkan alat berat namun belum mendapat penindakan dari pihak berwenang.

BACA JUGA: Tanpa Dokumen, Polda Kalbar Tahan Dua Truk Kayu Ulin Milik Bos Sukadana.

Terkait isu ini, pertemuan antara warga, pihak Kecamatan, serta sejumlah instansi terkait dijadwalkan akan digelar pada Selasa, 15 April 2025, di Kantor Camat Kubu. Awak Media telah mengonfirmasi kehadiran Kapolsek Kubu melalui pesan singkat WhatsApp. Kapolsek membenarkan bahwa dirinya telah menerima undangan resmi untuk menghadiri pertemuan tersebut.

Awak Media, juga telah mengajukan permohonan untuk melakukan peliputan langsung dalam agenda itu, mengingat tingginya perhatian publik terhadap isu ini dan pentingnya transparansi dalam penanganan kasus yang menyangkut kawasan strategis secara ekologis.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Kepala Desa Kubu yang dituding terlibat dalam transaksi tersebut. Dugaan jual beli lahan hutan bakau ini masih menjadi topik hangat dan perbincangan serius di tengah masyarakat Desa Kubu dan sekitarnya, serta menyita perhatian publik Kalimantan Barat.

Pewarta : REDAKSI.

error: Content is protected !!