Bagi-Bagi Proyek DPRD Kalbar Disorot

Bagi-Bagi Proyek DPRD Kalbar Disorot

Rajawaliborneo.com. Pontianak, Kalimantan Barat – Beredarnya pesan Singkat melalui WhatsApp dari admin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Barat memicu kontroversi serius terkait mekanisme perencanaan pembangunan daerah. Dalam pesan tersebut, admin Bappeda menyatakan bahwa usulan program dari anggota DPRD yang baru dilantik belum dapat diproses sebelum adanya pembagian data usulan antara anggota DPRD lama dan baru (05/06/2025).

Pesan ini mengindikasikan adanya praktik yang menjadikan usulan pembangunan sebagai “milik pribadi” anggota dewan lama, yang harus dibagi secara informal kepada anggota baru. Padahal, dalam prinsip pemerintahan yang baik, usulan program seharusnya merupakan bagian dari proses kelembagaan yang transparan, partisipatif, dan tidak personal.

Kondisi ini menuai kritik tajam dari pengamat hukum, aktivis antikorupsi, serta masyarakat sipil. Praktik tersebut dinilai berpotensi melanggar aturan perundang-undangan dan prinsip good governance.

Mekanisme Pengajuan yang Bermasalah., Dalam pesan yang telah dikonfirmasi, admin Bappeda menyatakan bahwa usulan dari anggota DPRD baru tidak akan diproses sebelum terjadi “pembagian data” usulan dalam bentuk softcopy antara anggota lama dan baru.

Hal ini menunjukkan bahwa pemrosesan usulan tidak didasarkan pada sistem kelembagaan resmi, tetapi bergantung pada kesepakatan informal antar individu. Praktik semacam ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan akuntabilitas publik, karena:

Menghambat hak konstitusional anggota DPRD baru dalam menjalankan fungsi legislasi dan menyerap aspirasi masyarakat.

Menjadikan perencanaan pembangunan sebagai arena negosiasi pribadi, bukan sistem terbuka berbasis kebutuhan publik.

Memicu risiko korupsi, kolusi, dan diskriminasi politik dalam pengelolaan anggaran.

Landasan Hukum yang Terlanggar

1. Permendagri No. 86 Tahun 2017 Peraturan ini menegaskan bahwa proses penyusunan RKPD harus dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. Pasal 78 dan 80 menyebutkan bahwaUsulan pembangunan merupakan hasil musyawarah dan bagian dari mekanisme kelembagaan., Dokumen perencanaan wajib disusun secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Pedoman KPK RI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam berbagai kajiannya telah memperingatkan bahwa personalisasi pokok-pokok pikiran anggota DPRD membuka ruang transaksi politik dan penyalahgunaan kewenangan. KPK mendorong sistem perencanaan yang transparan dan akuntabel untuk mencegah korupsi dan kolusi.

3. Peraturan Menteri Keuangan No. 190/PMK.07/2021 Peraturan ini mewajibkan pengelolaan keuangan daerah dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan. Menahan proses pengajuan usulan tanpa dasar hukum jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip tersebut.

4. Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia Perpres ini mengatur pentingnya pengelolaan data yang terintegrasi dan sah. Pembagian data secara informal antar anggota DPRD bertentangan dengan prinsip legalitas dan keterbukaan informasi publik.

– Risiko Sistematis yang Muncul Jika praktik ini dibiarkan, maka akan berdampak sistemik terhadap tata kelola pemerintahan, antara lain:

-Diskriminasi Politik Internal: Anggota DPRD baru kehilangan hak untuk berkontribusi secara utuh dalam perencanaan pembangunan.

Feodalisme Anggaran., Usulan pembangunan diperlakukan sebagai “warisan” politik, bukan aspirasi masyarakat.

Korupsi dan Kolusi., Celah terbuka untuk penyimpangan anggaran.

Krisis Kepercayaan Publik., Menurunnya legitimasi lembaga perwakilan dan proses perencanaan.

Suara Kritis dari Pakar dan Aktivis, Anto, akademisi dan pengamat tata kelola pemerintahan dari salah satu universitas di Kalimantan Barat, menyatakan:

“Mekanisme pembagian usulan antar anggota DPRD lama dan baru adalah pelanggaran terhadap prinsip kelembagaan dan demokrasi perencanaan. Ini akan melemahkan fungsi DPRD sebagai lembaga representasi rakyat dan mengganggu prinsip good governance.”

Sementara itu, Arief, aktivis antikorupsi dari Kalbar, menegaskan: “Jika usulan pembangunan harus melalui ‘izin’ dari anggota lama, maka jelas terjadi personalisasi dan transaksi politik yang berbahaya. KPK harus segera turun tangan dan melakukan investigasi menyeluruh.”

Masyarakat sipil dan sejumlah anggota DPRD baru mendesak: Gubernur Kalimantan Barat, Ketua DPRD, dan Kementerian Dalam Negeri untuk segera mengevaluasi dan mereformasi mekanisme perencanaan daerah.

Proses serah terima pokok-pokok pikiran dilakukan secara formal dan sesuai aturan. Tidak ada diskriminasi terhadap anggota DPRD baru dalam mengusulkan program.

Sistem e-planning diperkuat sesuai Perpres Satu Data Indonesia.

KPK melakukan audit investigatif terhadap potensi penyalahgunaan wewenang. Kasus ini bukan sekadar persoalan teknis atau miskomunikasi administratif. Praktik informal dalam pembagian usulan pembangunan mencerminkan persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Untuk menjaga integritas proses perencanaan dan kepercayaan publik, reformasi menyeluruh dan penegakan hukum yang tegas sangat diperlukan.

Pewarta : FPK.

Editor     : Syafarudin Delvin.

error: Content is protected !!