Rajawaliborneo.com. Pontianak, Kalimantan Barat – Sebuah skandal memalukan mencuat dari balik nama lembaga penyalur tenaga kerja yang mengklaim menyediakan jasa kemanusiaan. Jum’at, ( 20/06/2025).
Yayasan Bunda, yang beroperasi di Jl. Dr. Sutomo No. 55E, Kecamatan Pontianak Kota, diduga telah melanggar hukum secara terang-terangan dengan menahan ijazah asli milik Nanda Kumala Sari (18), mantan Asisten Rumah Tangga (ART) yang sebelumnya ditempatkan melalui yayasan tersebut.
Ironisnya, yayasan yang bernaung di bawah CV Humanindo Resources ini justru menggunakan ijazah tersebut sebagai alat tekan dan dugaan pemerasan, dengan meminta ganti rugi lebih dari Rp5 juta atau memaksa keluarga korban untuk mencarikan pengganti tenaga kerja, layaknya praktik barter manusia.
Tiga Bulan Kerja, ijazah ditawan Nanda diketahui bekerja selama tiga bulan di rumah salah satu klien yayasan. Namun, setelah keluar karena alasan pribadi dan kelelahan mental, ia meminta kembali ijazah SMA-nya yang dititipkan saat awal perekrutan. Bukannya dikembalikan, pihak Yayasan Bunda justru meminta “finalti kontrak” sebesar Rp5.000.000, atau memaksa Nanda mencarikan orang pengganti sebagai syarat pengembalian dokumen.
“Kalau tidak bisa bayar atau cari orang pengganti, ya ijazah kami tahan. Bawa saja ke polisi atau wartawan kalau tidak terima!” demikian ancaman yang dilontarkan oleh oknum yayasan, menurut kesaksian keluarga Nanda.
Pemaksaan Pernyataan dan Teror Psikologis., Yang lebih mencengangkan, Nanda dipaksa menandatangani surat pernyataan bermaterai yang menyatakan dirinya bersedia mencarikan pengganti ART. Surat tersebut tidak hanya cacat hukum, tetapi juga menjadi bukti nyata praktik intimidasi, pemaksaan kehendak, dan penghilangan kebebasan sipil individu.
Tindakan ini menciptakan tekanan psikologis luar biasa kepada Nanda dan keluarganya. Sang ayah mengaku telah berusaha menyelesaikan secara kekeluargaan, namun justru mendapat perlakuan yang merendahkan.
“Kami datang baik-baik, tapi mereka malah sombong dan menantang kami untuk melapor ke polisi. Katanya mereka sudah biasa menyerap tenaga kerja dan didukung pemerintah. Ini bukan yayasan kemanusiaan, tapi praktik perbudakan gaya baru,” ujar ayah Nanda dengan mata berkaca-kaca.
Yayasan atau Jaringan Pemerasan Berkedok Kemanusiaan?., Jika ditelusuri lebih dalam, modus penahanan dokumen asli, pemaksaan ganti rugi sepihak, hingga paksaan mencarikan pengganti bukan hal baru. Di berbagai daerah, praktik semacam ini kerap digunakan oleh yayasan abal-abal untuk menekan dan memeras masyarakat miskin.
Namun yang membuat miris, Yayasan Bunda berani melakukannya di kota besar seperti Pontianak secara terang-terangan, bahkan menantang pihak keluarga korban untuk menempuh jalur hukum, seolah hukum bisa dibeli dan keadilan bisa dikesampingkan.
Muncul pertanyaan: Apakah praktik ini dilindungi oleh jaringan tertentu yang tak kasat mata? Mengapa belum ada tindakan hukum meski pelanggaran dilakukan secara terbuka?
Pelanggaran Undang-Undang dan Desakan Penindakan Tegas., Praktik yang dilakukan Yayasan Bunda patut diduga melanggar sejumlah regulasi penting, antara lain: UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 90 tentang larangan denda dan pemotongan sepihak; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena menahan ijazah termasuk bentuk pelanggaran hak milik dan hak atas pendidikan, KUHP Pasal 368 tentang pemerasan, serta Pasal 333 tentang perampasan kemerdekaan., Potensi pelanggaran UU Perlindungan Anak, mengingat korban masih dalam usia remaja.
Pemerintah Jangan Tutup Mata., Pihak keluarga Nanda secara terbuka meminta Wali Kota Pontianak dan Polda Kalimantan Barat untuk segera turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran hukum ini.
“Jangan sampai Pontianak dikenal sebagai kota yang membiarkan yayasan memperdagangkan manusia dengan cara licik. Kami minta keadilan ditegakkan,” tegas salah satu kerabat korban.
Dalam negara hukum, tidak ada satu pun lembaga terlebih lembaga penyalur tenaga kerja yang berhak menahan ijazah, mengancam orang tua korban, apalagi memaksa mantan ART mencarikan pengganti. Jika hal ini dibiarkan, maka akan bermunculan korban-korban berikutnya.
“Negara tidak boleh kalah dengan kesewenang-wenangan. Jika pemerintah diam, masyarakat akan percaya bahwa hukum hanya berpihak pada pemilik modal,” tegas seorang aktivis HAM Kalbar.
Saat tim media mendatangi kediaman orang tua Nanda Kumala Sari, diketahui bahwa korban saat ini mengalami gangguan psikologis dan syok berat. Keluarga pun berharap adanya pertolongan serius dari pemerintah kota dan provinsi terhadap nasib anak mereka.
“Kami mohon bantuan pemerintah. Anak kami tidak bisa tidur, stres, dan sangat tertekan sejak kejadian ini. Kami hanya ingin keadilan,” ujar Ismail, ayah Nanda Kumala Sari, dengan nada sedih.
Pewarta : FPK.
Editor : Syafarudin Delvin.